Gelombang Demonstrasi dan Kenaikan Harga BBM

Kamis, 29 Maret 2012

Share This Article On :
Menjelang rencana pemerintah menaikkan harga BBM pada bulan April mendatang, gelombang demonstrasi menolak kenaikan harga BBM pun sepertinya semakin meninggi. Hampir setiap hari saat ini aksi demonstrasi dapat kita lihat di seluruh pemberitaan media. Muncul sebuah pertanyaan sejauh mana pengaruh gelombang demonstrasi tersebut dalam mempengaruhi rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Melihat fenomena demonstrasi di tahun-tahun sebelumnya dengan rencana kebijakan yang substansinya juga sama, nyaris suara para aktivis melalui gerakan parlemen jalanannya nyaris tak dipedulikan oleh pemerintah. Harga BBM tetap saja naik. Mengapa?

Ini tentunya menjadi pertanyaan yang menarik sebab idealnya dalam tatanan sistem politik demokrasi aksi tuntutan atau penolakan sudah idealnya memang didengarkan, bahkan menjadi perhatian oleh kalangan eksekutif pemerintahan sebagai pengambil kebijakan. Apakah ini dikarenakan gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa selama ini memang tidak kompak dalam membangun koalisi gerakan atau memang karena pemerintah sudah tidak peduli lagi dengan nasib dan penderitaan masyarakat.

Barangkali kedua pertanyaan di atas ada benarnya. Aksi demonstrasi yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa selama ini memang terkesan sendiri-sendiri dan ingin menonjolkan label gerakan dibandingkan melakukan koalisi besar gerakan. Namun, di sisi lain pemerintah pun menganggap gelombang demonstrasi ini barangkali sebagai gerakan represif yang tidak akan berlangsung dan bertahan lama, sehingga memang tidak menjadi penting untuk mendengarkannya. Pemerintah saat ini lebih jauh mementingkan sosialisasi kebijakan ini dengan memberikan pencerahan-pencerahan melalui pers conference dengan media dibandingkan berhadapan langsung dengan gerakan mahasiswa yang menimbulkan gelombang demonstrasi tersebut.

Untuk menemukan kebenaran jawaban atau paling tidak mendekati kebenaran jawaban ini barangkali juga kita bisa meminjam model aliran sistem politik David Easton. Dalam fungsi input ada tuntutan dan dukungan. Toni Andrianus Pito dkk (2006: 54) dalam bukunya yang berjudul, “Mengenal Teori-teori Politik” mengungkapkan timbulnya tuntutan yang telah mati begitu diajukan atau pengajuannya seret dan bertele-tele karena hanya didukung oleh golongan masyarakat yang kurang berpengaruh dan tidak pernah bisa masuk ke dalam tingkat pembuatan keputusan.

Untuk  memahami proses perubahan tuntutan menjadi isu, memerlukan data lebih lanjut. Sebagai contoh, menurut Andrianus Pito, kita perlu mengetahui hubungan antara suatu tuntutan dengan lokasi dari pencetusnya atau pendukungnya dalam suatu struktur kekuasaan dalam masyarakat tersebut, pentingnya kerahasiaan dibanding dengan publisitas atau keterbukaan dalam mengajukan tuntutan itu, pemilikan kecakapan dan pengetahuan politik, penguasaan saluran komunikasi, sikap dan suasana pemikiran masyarakat, dan gambaran yang dimiliki oleh pencetus tuntutan itu mengenai cara kerja sistem politik tertentu.  Jawaban terhadap masalah-masalah ini mungkin merupakan suatu indeks pengubahan atau konversi yang mencerminkan probabilitas bagi suatu kumpulan tuntutan untuk bisa diubah ke dalam isu politik yang hidup.

Pemerintah yang Tidak Peka

Menurut sahabat penulis Jusman Dalle yang juga merupakan Humas PP KAMMI dalam tulisannya yang berjudul, “Kenaikan BBM Ujian Kepemimpinan SBY” disalah satu koran lokal di Lampung kenaikan harga minya dunia adalah alasan utama bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM disamping beban pemerintah yang kian menumpuk. Atas alasan kenaikan harga minyak dunia inilah, pemerintah memastikan akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono yang langsung menyampaikannya pada Rabu (22-2) malam. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik mengatakan kemungkinan pemberlakuan kenaikan harga minyak pada 1 April mendatang.

Masih menurut Jusman Dalle, adapun estimasi kisaran kenaikan antara Rp500—Rp1.500 per liter. Rencana tersebut tentu mengundang polemik. BBM telah menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Baik untuk rumah tangga (keluarga) seperti transportasi, maupun industri. Belajar dari pengalaman yang sudah-sudah, kenaikan BBM selalu menyebabkan gejolak ekonomi. Dengan kisaran kenaikan di atas, bisa terjadi inflasi hingga 5% dan tentu menggerek kenaikan harga barang kebutuhan masyarakat. Kenaikan harga akan memicu turunnya daya beli masyarakat. Tak hanya itu, perusahaan pun akan melakukan efisiensi dengan merumahkan (PHK) karyawan. Pada akhirnya, kenaikan BBM memengaruhi performa pertumbuhan ekonomi yang saat ini sedang cantik-cantiknya sehingga menjadi primadona di mata dunia.

Mentaktisi beban subsidi seperti yang diwacanakan pada Januari lalu, pemerintah pernah mewacanakan konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG), tapi belum bisa diimplementasikan karena ketidaksiapan infrastruktur. Sementara itu, pembatasan BBM bersubsidi juga mengemuka. Tetapi terlalu kompleks masalahnya dan potensi menimbulkan masalah baru, seperti penimbunan BBM dengan memperalat kendaraan pelat kuning dan roda dua yang tetap mendapat BBM subsidi. Pemerintah tampak terjebak dalam posisi dilematis. Jikapun kenaikan harga BBM benar akan diberlakukan sebagai solusi, rakyatlah yang menjadi korban pertama. Dan bisa jadi, kebijakan tersebut menimbulkan gejolak sosial. Demonstrasi besar-besaran sebagaimana terjadi tahun 2005 ketika SBY-JK baru menjabat.

Berdasarkan hal di atas jelas menggambarkan bahwa ketidakberdayaan pemerintah ini menghadapi permasalahan kenaikan harga minyak dunia ini adalah hal yang pelik, tapi idealnya memang pemerintah harus lebih peka dengan kondisi masyarakat saat ini. Pemerintah harus bisa merasakan penderitaan masyarakat dan subsidi merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah.

Di saat seperti ini, idealnya bukanlah subsidi BBM yang dicabut atau dinaikkan harganya seperti yang sudah ditaksir dimuka, tetapi sudah seharusnya pemerintah sadar untuk melakukan gerakan hemat nasional. Bukan kemudian mengeluarkan kebijakan lain untuk menutupi keterbatasan masyarakat dengan memberikan bantuan langsung tunai. Akibatnya, banyak masyarakat yang nantinya akan mengaku miskin. Bertengkar gara-gara persoalan tidak kebagian jatah BLT. Seolah-olah pelajaran di tahun-tahun sebelumnya dilupakan begitu saja.

Koalisi Gerakan

Kita tentunya sangat menginginkan aksi tuntutan atau yang penulis sebut gelombang demonstrasi dapat membuahkan hasil. Tidak cukup hanya heboh di media massa. Bukan berarti memaksakan kehendak, tapi hasil yang kita harapkan adalah pemerintah tidak jadi menaikkan harga BBM. Itu harga mati. Tidak pakai tapi dan beragam alasan. Nah, sekarang yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimana memperoleh hasil itu.

Tentu harus ada langkah yang cerdas menyikapi persoalan ini. Ada dua hal penting yang barangkali perlu dilakukan oleh masyarakat untuk menolak kenaikan harga BBM jelang 1 April mendatang. Pertama, harus ada koalisi gerakan. Saat ini juga, secara jujur harus kita akui beragam gerakan yang katanya menyuarakan aspirasi masyarakat justru berjuang dan bergerak sendiri-sendiri. Jumlah pendemo juga bisa dihitung dengan jari. Beragam asumsi kemudian muncul apakah gerakan-gerakan ini hanya memanfaatkan momentum ini untuk menaikkan citranya ke publik melalui pemberitaan media massa atau memang benar-benar menolak karena merasa rakyat telah terzalimi dengan kebijakan kenaikan BBM.

Nah, ini adalah momentum untuk membangun koalisi gerakan. Satu suara satu tujuan. Koalisi gerakan itu tidak hanya cukup dari elemen mahasiswa tapi juga bisa dibangun dengan menggandeng elemen lain seperti buruh pabrik, petani, nelayan, para pengusaha, para birokrat dan sejumlah elit di daerah. Inilah yang perlu rasanya untuk segera dibangun, sehingga perjuangan penolakan kenaikan harga BBM ini bisa membuahkan hasil seperti yang masyarakat harapkan. Tidak kemudian pasrah menghadapi keadaan.

Kedua, mendorong elit DPR untuk menolak kebijakan kenaikan harga BBM. Nah, disinilah letak kunci yang sebenarnya. Hari ini gelombang demontrasi yang terjadi tidak menyentuh sisi-sisi ini. Beragam gerakan hanya melakukan demontrasi di jalan-jalan tanpa kemudian mengarahkan gerakannya ke tempat yang sesuai sasaran. Akibatnya, aksi demonstrasi yang dilakukan hanya menjadi konsumsi media massa saja. Barangkali menduduki kantor DPR RI dengan massa yang relatif banyak adalah salah satu jalan agar DPR RI juga ikut menolak ditengah ketidakmungkinan karena memang Setgab koalisi SBY-Boediono memang cukup gemuk dibandingkan dengan partai yang kontra. Terakhir, kita hanya bisa berharap agar pemerintah lebih peka dan tidak menaikkan harga BBM. Semoga!

Raja Dachroni
Ketua Umum Pengurus Daerah Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PD KAMMI) Kepulauan Riau dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Riau (UR)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 2010-2011 Media Pengetahuan All Rights Reserved.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.