Planet bumi kita ini memiliki dua
kutub, yaitu utara dan selatan. Bila kita membuat sebuah garis khayal
atau imajiner yang menghubungkan dari kutub Utara kekutub Selatan dan
kita hubungkan untuk seluruh keliling Bumi, maka akan diperoleh data
untuk setiap 1 derajat akan terjadi perbedaan waktu selama 4 menit.
Garis khayal inilah selanjutnya yang
digunakan untuk menentukan koordinat sebuah lokasi di Bumi bersama garis
lintangnya. Garis ini dimulai dari kota Greenwich di kepulauan
Greenland, Inggris (yang secara lazim dianggap sebagai bujur geografis
nol derajat) dan garis imajiner tersebut disebutlah dengan nama garis
bujur standar.
Waktu di garis bujur ini disebut sebagai
waktu standar atau GMT (Greenwich Mean Time). Untuk setiap perbedaan
garis bujur sebesar 15 derajat garis bujur, maka lokasi tersebut
memiliki perbedaan waktu selama 1 jam. Semakin ke Timur maka perbedaan
waktunya bertambah.
Ket. Gbr : Zona Waktu Dunia berdasar GMT
Melaui
Keputusan Presiden Republik Indonesia No.243 Tahun 1963 yang
disempurnakan lagi melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No.41
Tahun 1987 dan berlaku secara efektif mulai 1 Januari 1988 jam 00.00 WIB
wilayah Indonesia dibagi atas 3 bagian waktu. Pembagian waktu ini
antara lain : Waktu Indonesia Barat (WIB), Waktu Indonesia Tengah (WITA)
dan Waktu Indonesia Timur (WIT).
1. Waktu Indonesia Barat meliputi daerah
– daerah Tingkat I dan Istimewa di Sumatera, Jawa, Madura, propinsi
Kalimantan Barat dan Kalimanatan Tengah dengan waktu tolok GMT+07.00 jam
dan derajat tolok 105° Bujur Timur.
2. Waktu Indonesia Tengah meliputi
Propinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, Bali, Sulawesi dan
Nusa Tenggara dengan waktu tolok GMT+08.00 jam dan derajat tolok 120°
Bujur Timur.
3. Waktu Indonesia Timur meliputi daerah
– daerah Tingkat I di Maluku dan Irian Jaya dengan waktu tolok
GMT+09.00 jam dan derajat tolok 135° Bujur Timur.
Ket. gbr. Pembagian wilayah waktu
Penetapan
standar waktu di Indonesia ini bukan yang pertama kalinya didunia, sebab
pada 2 November 1868 negara Selandia Baru telah memulainya terlebih
dahulu yang dikenal dengan New Zealand Mean Time. Di Amerika Serikat
dan Kanada, zona waktu standar diperkenalkan tanggal 18 November 1883,
oleh perusahaan-perusahaan rel kereta api yang selanjutnya disempurnakan
secara bersama pada 1918 dengan pengenalan konsep daylight saving time.
Pembagian zona-zona waktu didunia (termasuk Indonesia) adalah untuk
menyeragamkan pemahaman tentang jam dan tanggal diberbagai negara
sekaitan dengan semakin meningkatnya peradaban dan teknologi serta
tuntutan hidup umat manusia.
Dipilihnya
waktu lokal di Royal Greenwich Observatory Greenwich, Inggris sebagai
standar waktu Internasional karena sampai tahun 1884 dua pertiga dari
semua peta dan bagan maritim menggunakannya sebagai meridian utama
(prime meridian). Memang pada awalnya penetapan tersebut lebih kepada
tuntutan para pelaut dan penumpang kereta api untuk memecahkan
kebingungan mereka terhadap perbedaan waktu yang mereka lintasi.
Standarisasi
ini ditetapkan pada Konferensi Meridian Internasional tahun 1884, yang
akhirnya menyeragamkan pemakaian Greenwich Mean Time untuk menyetel jam
di dalam suatu daerah didunia. Royal Observatory Greenwich atau
sebelumnya dikenal juga dengan nama Royal Greenwich Observatory sendiri
diresmikan pada 1675 oleh Raja Charles II bersamaan dengan dibentuknya
jabatan Astronomer Royal (saat itu dijabat oleh John Flamsteed) sebagai
direktur observatorium.
Pada kedua
kutub (utara dan selatan) pergantiang siang dan malam sangatlah lama,
maksimal 6 bulan siang dan 6 bulan malam, bahkan terkadang waktu
siangnya juga bisa lebih lama. Hal ini membuat tidak stabilnya waktu
untuk melakukan sholat ataupun memperkirakan bulan baru bagi mereka yang
tinggal atau melakukan perjalanan didaerah kutub.
Kita ambil
contoh kota Oslo yang terletak pada 110 garis bujur dan 600 lintang
utara dimana matahari tampak terbit dan terbenam pada jam yang selalu
berbeda sepanjang tahun. Waktu untuk menunaikan ibadah subuh adalah
sekitar pukul 01.20 malam sebab khususnya pada tanggal 20 Juni fajar
telah terbit diufuk timur, sedangkan maghrib baru dilakukan pada jam
21.27 dikarenakan matahari baru tampak tenggelam dibaratnya.
Berbeda pada
tanggal 20 Desember dimana fajar baru terbit sekitar pukul 07.45
(sholat subuhpun praktis baru dilakukan jam tersebut) dan maghrib sudah
terjadi sekitar jam 14.55 mengingat matahari telah terbenam diufuk
barat. Dengan demikian maka kita perlu untuk memahami ulang nash-nash
keagamaan yang selama ini telah dibenamkan kepada kita mengenai acuan
pembuatan penanggalan dan waktu.
Firman Allah :
Dan matahari beredar di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilahnya.(QS Yaasin (36) :38-39)Dia-lah yang menjadikan matahari terang dan bulan bercahaya dan Dia menentukan manzilahnya agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan. (QS Yuunus (10) : 5)
Dari kedua
ayat diatas maka secara jujur kita bisa menganalisa bila Allah sudah
membuat garis orbit untuk proses peredaran matahari dan bulan yang bisa
dijadikan acuan untuk perhitungan bulan dan waktu.
Sehingga
sebenarnya tidak tepat apabila penentuan bulan dan waktu (termasuk kapan
harus sholat, berpuasa dan berhari raya) hanya berdasar waktu terbit
dan terbenam matahari dari daerah kediaman manusia secara lokal. Sudah
sewajarnya kita menggunakan rotasi bumi serta orbit bulan dan matahari
selaku acuan untuk mendapatkan waktu standar yang berlaku menyeluruh.
Sebelum ini
kita sudah membahas mengenai pembagian wilayah dunia berdasar GMT dimana
kota Greenwich di kepulauan Greenland, Inggris menjadi pusat bujur
geografis nol derajat. Pernahkah kita sebagai umat Islam terpikir untuk
menjadikan kota Mekkah di Arab Saudi sebagai pusat bujur geografis
sebagai dasar penetapan waktu standar ?
Mungkin ide
ini sudah terlambat mengingat seluruh dunia sudah menyepakati standar
waktu GMT dan melakukan perhitungan waktu lokalnya berdasarkan kota
Greenwich tersebut. Akan tetapi penulis akan tetap mencoba melempar usul
ini meski tingkat probabilitasnya sangatlah rendah. Sebelumnya penulis
akan memperlihatkan dulu dalilnya didalam al-Qur’an.
Firman Allah :
Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram (QS. Al-Ma’idah (5):97)Dan ini adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab sebelumnya dan agar kamu memberi peringatn kepada Ummul Qura (ibu negeri) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. (QS. Al-An’am (6):92)
Demikianlah kami wahyukan kepadamu Al-Qur’an dalam bahasa Arab, supaya kamu memberi peringatan kepada ummul Qura (ibu negeri) dan penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya. (QS. Asy-Syuura (42) :7)
Jika kita
memperhatikan posisi kota Mekkah pada peta dunia maka akan terlihat bila
tempat tersebut menjadi titik pusat bagi daratan sekelilingnya. Secara
geografis, kota Mekkah yang terletak di Saudi Arabia memiliki luas lebih
kurang 870.000 mil meliputi empat perlima bagian semenanjung Arabia,
diselah timur Laut Merah dan berbatasan dengan Yordan, Irak, Kuwait,
Bahrain, Qatar, Emirat Arab, Oman dan Yaman.
Ket. gbr. Posisi Kota Mekkah diantara benua dan negara-negara dunia
Sumber : http://maps.google.com/
Sumber : http://maps.google.com/
Firman Allah :
Inna awwala baytin wudhi’a li(l)nnaasi lalladzii bibakkata mubaarakan wahudan lil’aalamiin(a) – Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk manusia, ialah Baitullah di Bakkah yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia (QS Ali Imran (3) :96)
Dalam surah
Ali Imran ayat 96 diatas, kota Mekkah dinyatakan sebagai kota dimana
rumah tertua (bangunan pertama) didirikan. Selain itu, istilah Ka’bahpun
seperti yang disampaikan oleh Nazwar Syamsu dalam bukunya “Makkah dan
Ibadah Haji” berartikan “kutub putaran bumi” sebagaimana kata Ka’bu atau
Ka’bayni yang memiliki pengertian “mata kaki” manusia dengan mana kita
dapat berjalan dengan normal (Baca: Nazwar Syamsu, Tauhid & Logika:
Makkah dan Ibadah Haji, Penerbit Ghalia Indonesia, 1983, hal. 48.)
Pemahaman
demikian berangkat dari teori Nazwar Syamsu yang menyebutkan bahwa pada
masa awal penciptaan dunia dimasa lalu, kota Mekkah merupakan kutub
utara bumi yang posisinya berubah drastis setelah terjadinya banjir Nabi
Nuh. Perubahan posisi ini sendiri dikaitkan beliau dengan perpindahan
kutub-kutub bumi yang disebabkan oleh perubahan arah putaran disumbunya
sehingga mengakibatkan kota Mekkah menjadi kota yang panas dan tandus.
Padahal
dimasa lalu menurut Nazwar Syamsu, kota Mekkah adalah kota yang subur
dan teduh penuh mata air sebagaimana kota tersebut menjadi tempat dimana
Adam pernah hidup. Pernyataan Nazwar Syamsu ini mengingatkan kita pada
salah satu hadis Rasulullah Saw : “
Tidaklah akan datang hari kiamat sehingga tanah Arab kembali menjadi tanah yang berumput dan banyak air.” (HR. Muslim).
Dari sabda
Nabi ini, kita bisa mempelajari bahwa jauh sebelum datangnya ketandusan
melanda tanah Arabia, tempat tersebut pernah menjadi satu kawasan yang
sangat subur (lihat bahwa hadis ini menggunakan istilah “Kembali menjadi
tanah yang berumput”).
Kenyataan
yang tidak bisa dibantah apabila sebelumnya Saudi Arabia adalah daerah
yang paling panas dimuka bumi sehingga pernah tercatat mencapai
temperatur 50 derajat selsius dan pada musim dingin mencapai 0 derajat
selsius dengan kesejukan yang membekukan tetapi kering tanpa air.
Seiring gerak pembangunan yang ada, maka saat ini Arabia sudah jauh
lebih baik. Daerah luas yang terdiri dari padang pasir dan gunung-gunung
batu ini sekarang dibanyak tempatnya telah dihijaukan untuk pertanian
melalui irigasi dari sumber-sumber air sejauh ribuan kilometer.
Didaerah
al-Ahsah dan Qatif telah dibuat waduk besar dengan saluran-saluran
irigasinya, dan terkenal juga waduk Jizan Wadi yang berupa danau buatan
berkapasitas 51.000.000 meterkubik air yang disalurkan kedaerah
sekitarnya dalam setahun. Berbagai usaha dan cara telah diupayakan pihak
pemerintah Saudi Arabia untuk menghijaukan dan menyuburkan kehidupan
dibeberapa tempat yang dahulunya padang tandus, ditambah dengan
pembangunan jalan-jalan raya lebar dan modern yang menghubungkan
beberapa tempat, juga dibarengi dengan pembangunan kota-kota baru
sebagai ganti dan perluasan kota-kota yang lama, begitupun
pelabuhan-pelabuhan dan lapangan-lapangan terbang yang berkapasitas
Internasional.
Kembali pada
teori Nazwar Syamsu tentang posisi Mekkah yang dahulunya dikatakannya
sebagai kutub utara bumi tetap saja menjadi teori yang menarik untuk
kita pelajari. Sebenarnya perubahan posisi bumi sudah terjadi sejak
lama. Barangkali tidak seorang pun pernah membayangkan, bumi mulai
miring sekitar 530 juta tahun lalu.
Bahkan pada
15 juta tahun berikutnya, poros bumi bergeser lebih dari 90o. Akibat
dari pergeseran ini, kawasan kutub pernah pindah ke khatulistiwa. Hugh
Auchincloss Brown, penulis Cataclysms of the Earth (1967) berpendapat
bila fenomena ini terjadi kemungkinan karena adanya perubahan geologi
global di masa lampau.
Albert
Einstein juga sempat menulis prakata untuk buku “Earth’s Shifting
Crust”, karya Prof. Charles H. Hapgood, tentang perubahan kutub yang
terjadi 6000 tahun silam. Di dalamnya dipaparkan data empiris tiap titik
permukaan bumi akibat perubahan mendadak iklim bumi. Menurut Prof.
Charles H. Hapgood, “Kerak bumi yang relatif tipis (+ 32 – 64 km)
tersusun atas materi yang keras, tapi tidak cukup kuat karena retak di
banyak tempat.
Tepat di
bawahnya ada lapisan yang sangat panas sehingga batuan di sana tidak
sempat mengkristal. Kondisi yang lembek dan plastis itu, yang berfungsi
mirip pelumas, menyebabkan kerak bumi mudah bergerak akibat tekanan
meski ringan sekalipun, apalagi oleh tekanan mendadak, seperti gempa
bumi atau desakan horisontal yang lama.” Selama perubahan kutub,
miliaran ton air dan es dari kutub Selatan akan bergerak cepat ke utara
menuju ekuator. Di kutub Utara pun demikian hanya arahnya berlawanan,
berpacu ke selatan ke ekuator.
Massa es itu
meluncur dengan kecepatan + 2.500 km/jam, dengan kata lain massa es di
Antartika akan mencapai wilayah subtropika hanya dalam 3-4 jam! Sebagai
akibatnya, muncullah gelombang setinggi ribuan meter menyapu daratan,
banyak gunung berapi meletus dan badai raksasa serta gempa terjadi
diberbagai tempat.
Permukaan
laut akan naik cepat, garis pantai tiap benua pun berubah. Ketinggian
air menyapu kota-kota dan dataran berpantai. Hasilnya adalah terjadinya
perubahan garis lintang dunia. Jarak tiap tempat terhadap ekuator
berubah. Meski tidak semua tempat berpindah sejauh jarak yang sama, maka
ada yang makin dekat, tapi ada yang makin jauh. Seiring dengan
perpindahan itu, muncul perubahan iklim, mulai dari yang drastis,
sedang, hingga yang tetap. Peristiwa hebat yang mendadak itulah yang
diduga melenyapkan peradaban kuno, termasuk mammot di zaman prasejarah.
Yves Naud
berdasarkan penelitiannya yang panjang menulis dalam bukunya berjudul
“Peninggalan Masa Lampau yang misterius dan UFO”, bahwa teknologi yang
pernah dicapai oleh nenek moyang manusia jaman dahulu melebihi apa yang
sudah dicapai oleh manusia modern sekarang ini. Hal ini dibuktikannya
dengan keberadaan Peta Piri Reis yang merupakan suatu peta dengan
rancangan ilmu geografis sangat akurat Konon pada awal abad ke delapan
belas, di istana Topkapi Turki, ditemukan peta-peta kuno.
Peta itu
adalah milik seorang perwira tinggi Angkatan Laut Turki Laksamana Piri
Reis. Dua buah atlas yang disimpan di perpustakaan negara di Berlin yang
memuat gambar yang tepat dari laut Tengah dan daerah sekitar laut Mati,
juga berasal dari Laksamana Piri Reis ini. Semua peta ini telah
diserahkan kepada Arlington H. Mallerey seorang Kartograf Amerika untuk
diteliti. Mallerey memperkuat fakta yang luar biasa bahwa semua data
geografi terdapat pada peta-peta itu, tetapi tidak digambar pada tempat
yang semestinya.
Ia minta
bantuan dari Walters seorang kartograf dari Biro Hidrografi Angkatan
Laut Amerika Serikat. Mallerey dan Walters bersama-sama menyusun suatu
skala dan mentransformasikan peta itu menjadi bola dunia. Mereka membuat
penemuan yang menggemparkan. Petanya memang cermat, bukan hanya
mengenai Laut Tengah dan Laut Mati saja melainkan pantai-pantai Amerika
Utara dan Selatan bahkan garis-garis tinggi Permukaan Samudra Antartika
pun dilukiskan dengan persis sekali pada peta Piri Reis itu.
Peta itu
bukan hanya memproduksikan garis besarnya benua-benua melainkan juga
topografi dari daerah-daerah pedalaman. Pegunungan, puncak gunung,
pulau, sungai dan dataran tinggi; semuanya digambarkan dengan ketepatan
yang luar biasa. Untuk lebih jauh membaca tentang peta piri rais ini,
silahkan anda membacanya disini : http://www.diegocuoghi.it/Piri_Reis/PiriReis_eng.htm
Dalam tahun 1957, peta-peta itu
diserahkan kepada Jesnit Lineham, yang menjabat direktur dari Weston
Observatory merangkap juru potret pada Angkatan Laut Amerika Serikat.
Setelah memeriksanya dengan cermat, Lineham pun hanya dapat memperkuat
ketepatannya yang fantastis itu bahkan sampai mengenai daerah daerah
yang di masa sekarang jarang sekali dipelajari.
Yang paling
menonjol ialah bahwa pegunungan di Antartika yang baru ditemukan pada
tahun 1952, dalam peta Reis telah terdapat. Pegunungan itu telah
tertutup oleh es beratus-ratus tahun lamanya. Peta kita sekarang dibuat
berdasarkan hasil pemetaan dengan menggunakan alat-alat gema suara.
Penyelidikan terakhir yang dilakukan oleh Profesor Charles. H. Hapgood
dan ahli matematika Richard W. Strachan telah memberikan informasi yang
lebih mengherankan lagi.
Setelah
diadakan perbandingan dengan hasil pemotretan bulatan dunia kita yang di
lakukan secara modern dari satelit, perbandingan itu menunjukkan bahwa
peta aslinya dari Piri Reis itu pasti telah dibuat berdasarkan hasil
pemotretan dari udara dengan ketinggian yang jauh sekali. Bagaimana kita
bisa menjelaskan hal demikian secara rasional dimana nenek moyang kita
yang konon adalah manusia-manusia batu serta hidup secara nomaden telah
mampu membuat peta seakurat ini ? Ternyata Maha Benar Allah dengan
segala firman-Nya tatkala Dia mengatakan dalam wahyu-Nya kepada Nabi
Muhammad :
Dan orang-orang yang hidup sebelum mereka ini telah pernah mendustakan Kami, padahal mereka yang sekarang ini belum sampai sepersepuluh dari yang pernah Kami berikan kepada (nenek moyang) mereka pada masa lalu. (QS Saba’ (34) : 45)
Dikaitkannya
antara rumah pertama (awwala baytin wudhi’a linnaasi) yang disebut
dengan istilah Ka’bah dengan posisi kota Mekkah sebagai Ummul Qura
(mother of cities, ibu semua kota) serta kewajiban kita berkiblat
kepadanya didalam al-Qur’an pasti mengandung pengetahuan lain yang
dituntut oleh Allah kepada manusia dalam penyingkapannya.
Dimanapun kamu berada, maka palingkanlah wajahmu ke Masjidil Haram. Sesungguhnya ketentuan itu adalah sesuatu yang benar dari Tuhanmu. (QS Al-Baqarah (2) :149)
Pengertian
umum dari istilah “al-Ka’bayni” selaku dua mata kaki (lihat surah
al-Maidah ayat 6) merupakan analogi keseimbangan dasar dari suatu
bangunan tubuh manusia sehingga dia bisa berjalan dengan benar.
Begitupula kiranya maksud dari istilah “al-Ka’bati” pada surah al-Maidah
ayat 95 atau istilah “al-Ka’bata” pada surah yang sama ayat 97 yang
menyebutnya selaku pusat kegiatan manusia. Tentunya mengandung maksud
akan terwujudnya sentralisasi aktivitas dengan berkiblat kepadanya
termasuk dalam hal pengaturan waktu serta penanggalan.
Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah wajahmu ke arahnya. (QS. AL-Baqarah (2) :144)Kami menjadikan rumah itu tempat berkumpul bagi manusia. (QS. AL-Baqarah (2) :125)
Dan bagi tiap-tiap ummat ada kiblatnya dimana ia menghadap kepadanya.
(QS AL-Baqarah (2) :148)
Akan halnya
kita sekarang hanya menjadikan Ka’bah serta kota Mekkah sebagai tempat
berkiblat didalam sholat dan menunaikan ibadah haji adalah sesuatu yang
tidak perlu disalahkan. Tetapi mungkin sudah waktunya untuk
mempertimbangkan pula lokasi tersebut sebagai pusat pengkiblatan seluruh
aktivitas dan peraturan yang berkaitan dengan setiap langkah kegiatan
umat Islam dunia.
Karena hanya
dengan menjadikan kota Mekkah, khususnya Ka’bah selaku masjidil haram
yang menjadi pusat pengaturan sistem aktivitas maka keridhoan seluruh
umat Islam terhadap persatuan harusnya dapat terwujud. Kita tidak perlu
lagi menjadikan kota Greenwich di kepulauan Greenland, Inggris menjadi
pusat bujur geografis nol derajat yang olehnya kita menstandarisasi
waktu.
Kita juga
tidak perlu lagi meributkan kapan harus berpuasa, berlebaran atau
berhaji hanya karena perbedaan dalam penglihatan hilal disetiap negara.
Di Mekkah kita sudah harus menerapkan sistem fukyat bil ‘ilmi secara
totalitas yang dapat menjadi acuan kalendarisasi hijriyah umat Islam
seluruh dunia. Sehingga bila secara astronomi modern hilal sudah masuk
atau terwujud dikota Mekkah maka artinya ditempat lain diseluruh
duniapun harusnya memulai penanggalan baru pada saat yang sama.
Akan tetapi
sayangnya karena sampai saat tulisan ini dibuat masih belum adanya
standarisasi yang dicapai oleh umat Islam mengenai hal tersebut, bahkan
dikala orang-orang barat sudah menjejakkan kakinya kebulan kita masih
sebatas meributkan penghitungan peredaran bulan, kiranya tidak juga bisa
ditolak untuk mempergunakan standarisasi yang berlaku secara
Internasional untuk menentukan kalendarisasi hijriyah secara astronomi
modern sebagaimana telah dilakukan oleh Badan Ruang angkasa Amerika
(NASA).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar