Pemerintah dan partai pendukung kenaikan BBM –termasuk dua partai
yang mengambang- dalam awal rapat paripurna DPR kemarin tampaknya sudah
benar-benar sesat dalam logika berpikir (Logical Fallacy).
Dua opsi yang ditawarkan soal usul kenaikan BBM bukan saja cara tidak
elegan mengelabui masyarakat, tetapi juga mengabaikan putusan MK atas
judicial review UU Migas yang menyatakan bahwa tidak dibenarkan
menyerahkan harga eceran BBM bersubsidi berdasarkan harga pasar (ICP)
dan menunjukkan betapa tidak lagi sensitifnya wakil rakyat terhadap
tuntutan masyarakat yang sangat besar.
Gelombang tuntutan masyarakat dalam demonstrasi ini bukan hanya akan
semakin besar tetapi akan menyebabkan public distrust yang luar biasa
terhadap keberadaan pemerintahan. Masyarakat dipertontonkan pada
mentalitas dan perilaku pencari rente (rent seeking mentality) politisi
dan partai politik sebagai anggota DPR, khususnya partai politik yang
mengambang dalam sikap terhadap usul kenaikan BBM. Kepentingan rakyat
terkubur oleh politik pencitraan yang dipertontonkan oleh partai politik
dan politisi anggota DPR yang mendukung dan mengambang dalam usul
kenaikan BBM.
Kenaikan harga BBM jelas menjadi suatu kesimpulan akhir yang dikemas
dalam balutan penambahan pasal yang prosesnya tidak menganut kepatutan,
bahkan masuk kategori pelanggaran konstitusi. Satu-satunya cara yang
tepat secara konstitusi supaya harga BBM "TIDAK NAIK" adalah hanya
dengan mempertahankan UU APBN th 2012 pasal 7 ayat 6 tanpa penambahan
ayat 6a. Penambahan ayat 6a hanya menjadi dalih untuk menaikkan harga
BBM kapan saja.
Kebijakan menaikkan BBM adalah cara mudah dan tidak mau sulit dari
pemerintah. Kesesatan berpikir anggota dewan terhadap tujuan bernegara
dibangun oleh angka-angka harga minyak dunia dan jebolnya anggaran
negara. Sebuah pemerintahan adalah ibarat sebuah rumah tangga. Jika
mandat konstitusi adalah penguasaan negara terhadap bumi, air dan segala
kekayaan terkandung di dalammnya, jika mandat konstitusi adalah
memajukan kesejahteraan umum, jika mandat konstitusi adalah segala warga
negara berhak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak,
maka jelas kebijakan pemerintah tidaklah boleh semata-mata pada
angka-angka kenaikan harga minyak dan jebolnya anggaran negara.
Beberapa waktu yang lalu bahkan Indonesia Corruption Watch (ICW) juga
menyebutkan ada dugaan korupsi dalam penghitungan subsidi BBM pada
postur RAPBNP 2012. Metode penghitungan yang digunakan bahkan sama
dengan yang digunakan oleh Pertamina, BP Migas dan Kementrian ESDM.
Pemerintah memang tidak menginginkan transparansi. Ada indikasi
pemerintah menutupi kebolongan sekaligus menutupi suatu kepentingan
tertentu.
Kebijakan pemerintah harus berdasar pada nilai publik (public value)
untuk mencapai tujuan-tujuan bernegara. Apakah pemerintah sudah
mengajukan pertanyaan berapa potensi sumber daya alam, sumber daya pajak
dan berbegaia sumber penerimaan negara yang hilang sebagai penerimaan
negara. Apakah pemerintah sudah mengajukan pertanyaan betapa tidak
efisiennya pengelolaan keuangan negara yang menyebabkan hilangnya uang
negara bukan untuk tujuan negara.
Menaikkan BBM dengan alasan akan menyebabkan jebolnya anggaran negara
adalah cara malas sebuah pemerintahan mengatasi persoalan yang dihadapi
dalam rangka meningkatkan kesejehteraan rakyatnya. Setiap krisis adalah
momentum untuk memperbaiki kualitas pengelolaan keuangan negara. Bahkan
Obama sekalipun 4 bulan lalu telah menerapkan prinsip efisinsi
pengelolaan keuangan negara untuk mengatasi berbagai krisis keuangan
yang terjadi melalui pemotongan fasilitas dinas, biaya rapat dan
pengeluaran lain-lain yang tidak penting.
Logical Fallacies dan Rent Seeking Mentality pemerintah dan anggota
dewan bukan saja melanggar etika berpolitik dan bernegara, tetapi akan
berbuntut panjang pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap keberadaan
negara dan pemerintahan. Hal ini akan mengarah pada revolusi sosial,
suatu kondisi yang terjadi apabila tersedia tiga syarat utama: yaitu
musuh bersama, momentum yang tidak menguntungkan rakyat serta adanya
pemimpin yang menggerakkan revolusi tersebut. Tampaknya hanya dibutuhkan
syarat ketiga, yaitu kepemimpinan yang dapat menggerakkan masyarakat
untuk secara inkonstitusional melakukan perlawanan.
Dewi Aryani
Anggota Komisi 7 DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Kandidat Doktor Administrasi dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia, Ketua PP ISNU (Ikatan Sarjana NU) Bidang Pertambangan dan Lingkungan Hidup
Anggota Komisi 7 DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Kandidat Doktor Administrasi dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia, Ketua PP ISNU (Ikatan Sarjana NU) Bidang Pertambangan dan Lingkungan Hidup
Tidak ada komentar:
Posting Komentar