Peneliti biologi kelautan berhasil mengidentifikasi adanya alga beracun
di lautan. Dari 300 spesies yang ada di dunia, 35 spesies di antaranya
terdapat di Indonesia.
"Salah satu yang paling beracun adalah golongan Pyrodinium. Alga ini tersebar di Teluk Kao, Lampung, Ambon, serta laut antara Kalimantan dan Sulawesi," kata Tumpak Sidabutar, peneliti Pusat Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2 LIPI).
Menurut Tumpak, alga Pyrodinium mengandung paralytic shellfish poisoning (PSP) yang dapat mengakibatkan kerusakan saraf dan paralyzed. "Kasus akibat alga ini pernah terjadi di Ambon dulu, ada dua korban yang meninggal," ujar Tumpak
Tumpak mengatakan, racun yang dimiliki jenis alga beracun bisa
terakumulasi pada tubuh hewan laut lewat proses rantai makanan. Bahaya
muncul saat manusia mengonsumsi ikan serta beragam produk laut lainnya.
Bahaya paling besar terjadi jika seseorang mengonsumsi kerang-kerangan
karena kerang lebih bisa mengakumulasi racun ini.
Kepala P2 Oseanografi LIPI Zainal Arifin mengatakan, penelitian lebih
mendalam tentang jenis, sebaran, dampak, serta kandungan racun
jenis-jenis alga beracun perlu dilakukan untuk mengantisipasi dampaknya.
Oleh karena itu, digagaslah The North Pacific Marine Science
Organization (Pices) Harmful Algae Blooms (HAB) untuk mendiskusikan dan
menyusun langkah rencana penelitian dengan melibatkan negara yang lebih
berpengalaman.
LIPI saat ini menjalin kerja sama dengan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dari Amerika Serikat untuk melakukan penelitian tentang blooming algae. Pemantauan terhadap blooming algae itu
dilakukan dengan satelit. Peneliti kemudian akan mengambil sampel untuk
mengetahui jenis alganya, apakah beracun atau tidak. Hasil penelitian
itu diharapkan bisa menjadi rekomendasi bagi pemerintah daerah ataupun
pusat untuk mulai mengupayakan keamanan makanan laut dari sisi
toksikologi.
P2 Oseanografi LIPI
mengadakan seminar pelatihan dan seminar "Seafood Safety in Indonesia"
dengan menghadirkan pembicara dari NOAA, LIPI, Indonesia Marine and
Climate Support (IMACS), dan United States Agency for International Development (USAID).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar